Laman

mars JSL (JOGJA SUPRA LOVERS)

http://www.youtube.com/watch?v=_tZ9uIE7Dmg

Entri Populer

Selasa, 04 Januari 2011

SEJARAH PERJALANAN PANCASILA

Di masa kekuasaan Orde Baru Pancasila selalu dijadikan label pada kegiatan dan kebijakannya. Nama Pancasila dicatut untuk menutupi kekuasaan fasis otoriter yang antirakyat, antinasional dan antidemokrasi. Demikianlah dengan pembubuhan kata Pancasila pada “Demokrasi” muncullah apa yang dinamakan “Demokrasi Pancasila”, dengan mana rezim Orde Baru selama 32 tahun telah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar Pancasila itu sendiri, UUD 45, HAM dan keadilan. Di samping itu Orde Baru tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai label belaka, tapi juga memperalat sedemikian rupa sehingga dengan mudah penguasa bisa mencap seseorang yang berbeda politiknya, melanggar atau mengkhianati Pancasila. Dan bersamaan dengan itu penguasa menyebarkan “momok komunis/komunisme” untuk menakut-nakuti rakyat.

Rezim Orde Baru juga melakukan usaha-usaha untuk menghapus jasa-jasa Bung Karno dari sejarah Indonesia dan memanipulasi Pancasila. Misalnya, penguasa yang melalui mendikbudnya - Nugroho Notosusanto, berusaha memalsukan fakta sejarah, dengan pernyataannya bahwa penggali Pancasila bukan Bung Karno.

Kita belum lupa penghapusan peringatan 1 Juni - Hari lahirnya Pancasila dan diganti dengan peringatan terbunuhnya para jenderal dalam peristiwa G30S dengan nama Hari Kesaktian Pancasila, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Pancasila. Dan sangat menyedihkan bahwa uang negara dihambur-hamburkan oleh rezim Orde Baru hanya untuk mengelola suatu badan yang bernama BP-7 (dbp. Alwi Dahlan), yang nota bene bertujuan agar “Pancasila” tetap bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan Orba.

Pada zaman Orde Baru, 5 paket UU politik dan Dwifungsi ABRI merupakan perangkat politik yang jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi (musyawarah-mufakat), sehingga mengakibatkan demokrasi menjadi lumpuh tidak berjalan. Kekuasaan totaliter-militeristik Orde Baru selama 32 tahun mengakibatkan rakyat dewasa ini harus mulai belajar demokrasi lagi. Dan terasa sampai dewasa ini demokrasi hanya dijadikan alat untuk menang-menangan dalam perebutan kepentingan golongan, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.

Kesenjangan sosial warisan Orde Baru sampai sekarang terus ditanggung rakyat. Kalau kesenjangan sosial ini diumpamakan sebagai rumput kering, maka siapa saja yang melempar api kepadanya akan terbakarlah rumput tersebut dan terjadilah malapetaka yang tragis. Api penyulutnya itu bisa dari perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja. Maka tidak mengherankan timbulnya keresahan-keresahan sosial di beberapa daerah sebagai pencerminan menipisnya nilai-nilai Pancasila di kalangan masyarakat.
Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya bahaya yang mengancam ajaran toleransi kehidupan antaragama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang mengorbankan banyak nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam atas ajaran kerukunan antarsuku bangsa yang terkandung di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Ucapan seorang menteri Orde Baru pada 17 Juni 1997 di Surabaya bahwa:”Halal darah dan nyawa para perusuh”, menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila direalisir oleh Orde Baru.

Seandainya saja kue hasil pembangunan itu bisa mengucur dari atas ke bawah - ke rakyat, dari pusat ke daerah, mungkin keresahan sosial sedikit demi sedikit bisa diatasi. Tapi sampai sekarang kue pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Padahal untuk membiayai terciptanya ‘kue pembangunan’ ini telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak, gas, hutan, emas dll.) ditambah dengan hutang luar negeri yang berjumlah kurang lebih 150 milyar USD.

Ada suatu anggapan bahwa kalangan lapisan atas dengan sengaja berusaha melupakan katakunci ‘pemerataan’, yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya Gorbacev) telah merupakan tujuan dari Sila Keadilan Sosial. Sedang pembangunan yang berwujud gedung-gedung tinggi megah, obyek-obyek rekreasi mewah, jalan-jalan aspal halus dan sebagainya, bukanlah prioritas pembangunan yang diperlukan bagi kepentingan puluhan juta orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan.

Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) masih perlu diluruskan. Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas tidak wajar bahwa di dalam negara hukum Indonesia telah terjadi pembunuhan massal dan penahanan puluhan ribu orang selama bertahun-tahun tanpa proses hukum, yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda penegakan hak asasi yang dilanggar tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
catatan perkuliahan

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PEDOMAN PERSATUAN NASIONAL

Situasi politik di Indonesia yang sangat rawan akan ancaman disintegrasi bangsa adalah disebabkan karena akibat kekuasaan rezim orde baru yang telah menyelewengkan nilai-nilai Pancasila. Maka mengkaji, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila adalah salah satu usaha penting untuk menghindarkan bahaya disintegrasi bangsa dewasa ini. Fakta historis tanggal 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila harus dijadikan titik tolak dalam mengkaji dan mengamalkan Pancasila, supaya tidak terjadi penafsiran kontroversial tentang hakekat Pancasila yang sebenarnya. Adalah sangat penting untuk mengembalikan makna nilai-nilai Pancasila sesuai dengan apa yang digagas oleh Bung Karno. Maka dalam mengkaji balik Pancasila, pertama-tama harus kita akui bahwa Pancasila itu digali oleh Bung Karno, yang tertuang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebab dari situ kita akan menemukan inti filsafat Pancasila sebenarnya.

Mengenai Pancasila, Bung Karno selalu menyatakan dirinya hanya sebagai Penggalinya. Tapi sesungguhnya pernyataan itu hanya sebagai pernyataan rendah hati. Yang tepat sesungguhnya Bung Karno tidak hanya sebagai penggali, tetapi juga penciptanya. ‘Menggali’ berarti mengambil sesuatu yang masih merupakan bahan mentah dari kandungan bumi. Sedang ‘mencipta’ berarti mengolah, membuat sedemikian rupa sehingga bahan-bahan galian yang masih mentah tersebut menjadi barang-jadi.
Seperti kita ketahui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, memang digali dari bumi Indonesia, dimana rakyatnya telah berabad-abad menganut berbagai macam agama. Tapi tergalinya fakta tersebut, belumlah cukup untuk mengatakan adanya atau terciptanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Falsafah Pancasila. Fakta tersebut masih merupakan bahan galian yang mentah. Sebab fakta adanya bermacam-macam agama belum merupakan konsepsi falsafah yang bisa menangkal kemungkinan timbulnya bentrokan atau peperangan antara penganut-penganutnya.
Bahan galian tersebut baru menjadi salah satu sila dari Pancasila setelah diolah menjadi suatu rumusan filsafat negara yang berintikan toleransi, saling menghormati dan persatuan dari para penganut berbagai-bagai agama untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Begitu juga sila Kebangsaan (nasionalisme, persatuan Indonesia) adalah hasil godogan dari rasa kesadaran sukubangsa-sukubangsa yang mendiami wilayah Indonesia sebagai kesatuan bangsa Indonesia dengan rasa kesadaran menghargai dan menghormati martabat bangsa lain. Dengan digalinya fakta bahwa di kepulauan Indonesia terdapat suku-suku bangsa yang bermacam-macam, belum bisa menjamin tidak adanya permusuhan antarsuku.

Lebih dari itu Nasionalisme dalam filsafat Pancasila adalah Nasionalisme yang berpadu dengan Humanisme disebut sosio-nasionalisme (Ben Anderson menamakannya Nasionalisme Kerakyatan). Jadi jelas bukan nasionalisme sempit yang menuju kepada sovinisme, seperti yang berkembang di Eropa.

Sedang sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat, atau Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan) adalah suatu hasil godogan antara galian yang berwujud musyawarah dan mufakat yang telah ada berabad-abad di kalangan masyarakat Indonesia dengan falsafah yang mengarah kepada tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat bersama.

Maka demokrasi yang demikian itu bukanlah demokrasi yang menjurus ke anarkisme, yang liberal-liberalan untuk berlomba memupuk kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri, keluarganya atau kelompoknya, hingga melupakan kepentingan rakyat. Demokrasi berdasarkan filsafat Pancasila disebut Sosio-Demokrasi, yaitu Demokrasi yang bersenyawa dengan tuntutan Sila Keadilan Sosial, yang merupakan demokrasi di bidang politik, ekonomi dan budaya. Demikianlah bahan-bahan mentah yang telah digali Bung Karno telah dia masak dengan ‘bumbu-bumbu’: toleransi, persatuan dan cita-cita masyarakat adil makmur sehingga tercipta menjadi Pancasila Dasar Filsafat Negara RI dan pedoman untuk perjuangan persatuan nasional.

Kita tidak bisa memalsukan sejarah Pancasila, yang dilahirkan pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka segala tafsiran mengenai Pancasila haruslah bertolak pada sumber aslinya, kalau tidak mau dikatakan memutar-balikkan sejarah dan hakekat Pancasila. Selanjutnya Bung Karno menyatakan Pancasila bisa diperas menjadi Trisila (Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, Ketuhanan YME). Sedang Trisila bisa juga diperas menjadi Ekasila - Gotongroyong.

Perasan terakhir ini mencerminkan inti dari Pancasila, yaitu persatuan seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk bersama-sama bergotong royong berjuang demi terbentuknya masyarakat adil dan makmur.
Formulasi Pancasila seperti yang diucapkan Bung Karno di BPUPKI diformulasikan di dalam UUD 45 (dan konstitusi RIS, UUDS NKRI 1950) agak berbeda. Meskipun demikian Pancasila yang tercantum di dalam UUD 45 (Pembukaan) tidak bisa dikatakan bertentangan dengan Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

DAFTAR PUSTAKA
catatan perkuliahan

http://www.Bisnis-DGC.com/?id=DMA483069