Laman

mars JSL (JOGJA SUPRA LOVERS)

http://www.youtube.com/watch?v=_tZ9uIE7Dmg

Entri Populer

Rabu, 15 Desember 2010

Cita Masyarakat Madani

Menjelang berakhirnya Abad ke-20, gelombang liberalisme baru berkembang dimana-mana dan diiringi pula dengan kegagalan paham sosialisme lama di berbagai penjuru dunia. Berkaitan dengan itu, pengertian-pengertian yang berkenaan dengan pentingnya meningkatkan keberdayaan masyarakat madani atau civil society dalam hubungan antara Negara (state), masyarakat (society), dan pasar (market), untuk menjamin peradaban bangsa di masa depan, ketiga wilayah (domain) Negara, masyarakat dan pasar, sama-sama harus dikembangkan keberdayaannya, dalam hubungan yang fungsional, sinergis dan seimbang.

Negara hendaknya tidak mencampuri (interventionist) terlalu jauh ke dalam mekanisme pasar dan demikian pula ke dalam domain public(society).
Dalam perumusan Undang-Undang Dasar, yang di satu segi perlu mengadopsikan gagasan welfare state dan paham demokrasi ekonomi ke dalamnya tetapi di segi yang lain, jangan sampai hanyut dengan menentukan hal-hal yang seharusnya merupakan domain publik dan domain pasar diatur oleh Negara.

Yang termasuk ke dalam domain publik rublic domain, sebagai urusan masyarakat (society dan urusan ekonomi pasar (market). Biarlah diatur tersendiri melalui mekanisme yang hidup dalam masyarakat dan dalam dinamika ekonomi pasar itu sendiri.
Yang penting untuk disadari bahwa institusi negara dibentuk, tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh institusi masyarakat. Institusi Negara dibentuk justru dengan maksud untuk makkin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan.

Dalam hubungan itulah, maka Undang-Undang Dasar ini diharapkan dapat berfungsi efektif sebagai sarana pembaruan (tool of reformation) secara bertahap tetapi berkesinambungan dalam rangka perekayasaan (constitutional engineering) ke araha perwujudan cita-cita masyarakat madani.

Kesepuluh prinsip dasar tersebut sejalan dan terkait erat dengan lima dasar atau sila yang dirumuskan sebagai dasar Negara Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kesepuluh prinsip tersebut haruslah menjiwai kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kebijakan – kebijakan kenegaraan dan pemerintahan itu dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, mulai dari yang paling tinggi yaitu Undang-Undang Dasar sampai ke yang paling tinggi yaitu Undang-Undang Dasar sampai ke yang paling rendah yaitu Peraturan Daerah. Peraturan Bupati dan Walikota, dan bahkan Peraturan Desa.

Paham Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar Sosial

Paham kedaultana rakyat Indonesia, selain berkenaan dengan demokrasi politik, juga mencakup paham demokrasi ekonomi.

Sistem perwakilan politik diwujudkan melalui lembaga Dewan Perwakilan daerah yang berorientasi territorial dan kedaerahan. Dengan demikian perwakilan golongan atau pelaku ekonomi dan golongan-golongan rakyat lainnya di luar sistem kepartaian dapat disalurkan aspirasinya melalui lembaga perwakilan daerah.

Dalam paham demokrasi social (social democracy) itu, Negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Paham kapitalisme mengadopsikan elemen-elemen konstruktit dan paham sosialisme dan demikian pula sebaliknya dalam market socialism terus berkembang dalam kerangka pengetian pasar social. Oleh karena itu, tekad the founding fathers untuk mengadopsikan kedua paham tersebut dalam rumusan Undang-Undang Dasar dalam Bab XIV tentang kesejahteraan sosial.

Persatuan dan Kesatuan

Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh Bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan Bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman itu. Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united) , tetapi tidak boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Karena itu, prinsip persatuan Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan.

Negara kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara Persatuan dalam arti sebagai Negara yang warga negaranya erat bersatu. Negara Persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga Negara karena kewargaannya (citizenry). Dengan demikian, Negara Persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita Negara (staatsidee) yang bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam Undang-Undang Dasar ini.
Kekayaan alam dan budaya antar daerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sistem Pemerintahan Presidensiil

Negara Indonesia merupakan Negara yang berpendudukan terbesar keempat di dunia. Komposisi penduduknya sangat beragam. Kompleksitas dan keragaman itu sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat.

Agar peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat tersebut dapat disalurkan dengan sebaik-baiknya menurut prosedur demokrasi, berkembang keinginan agar system pemerintahan yang dibangun adalah system parlementer .

Namun, terlepas dari kenyataan bahwa system parlementer itu pernah gagal dipraktekkan dalam sejarah Indonesia modern pada masa lalu. Keuntungan sistem presidensiil justru lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem ini juga dapat dipraktekkan dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem multi-partai yang dapat mengakomodasikan peta konfigurasi kekuatan politik dalam masyarakat.

Pertama, dalam sistem pemerintahan presidensiil ini, tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan.

Kedua, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilikinya.

Ketiga, Presiden dan dan atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertamnggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.

Keempat, dalam hal terjadi kekosongan dalam jabatan Presiden atau Wakil Presiden, pengisiannya dapat dilakukan melalui pemilihan dalam siding Majelis Permusyawaratan rakyat.

Kelima, para menteri adalah pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dank arena itu bertanggungjawab kepada parlemen.

Keenam, untuk membatasi kekuasaan Presiden uyang kedudukannya dalam sistem presidensiil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.

Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Check and Balances

Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini (pra amandemen) diwujudkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat.

Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertical ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut dalam model ini disebut sebagai prinsip pembagian kekuasaan (division or distribution of power).

Dalam Undang-Undang Dasar (pasca amandemen), kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembag-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sam alian sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini, maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya.

Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan

Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan melalui system perwakilan. Diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang kewenangan legislatif; Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif; dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.

Paham Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi

Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam Negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan kekuasaan hendaklah diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).

Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrument hukum, efektifitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan system pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan social., ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga dikonstruksikan sebagai pham kedaulatan Tuhan.

Cita Negara Hukum dan The Rule of Law

Dalam konstitusi ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat), terkandung pengertian adanya pengakuan tehadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut system konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

Paham Negara hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.

Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat).

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa

Undang-Undang Dasar merupakan dokumen hukum yang mewujudkan cita-cita bersama setiap rakyat Indonesia. Yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Paham ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut merupakan pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan kenegaraan bangsa Indonesia. Karena itu, nilai-nilai luhur keberagaman menjadi jiwa yang tertanam jauh dalam kesadaran, kepribadian dan kebudayaan Bangsa Indonesia sehari-hari. Jiwa keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu juga diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam Undang-Undang Dasarnya.

Keyakinan akan prinsip ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dalam sila kedua Pancasila, yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab, berisi paham persamaan kemanusiaan (egalitarianisme) yang menjamin peri kehidupan yang adail, dan dengan keadilan itu kualitas peradaban bangsa dapat terus meningkat dengan sebaik-baiknya.

Prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa tersebut diwujudkan dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) dan sekaligus dalam paham kedaulatan hokum (nomocracy) yang saling berjalin berkelindan satu sama lain. Keduanya diwujudkan dalam pelembagaan system demokrasi yang berdasar atas hokum (constitutional democracy) dan prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).
Sebagai konskuensi prinsip ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, tidak boleh ada meteri konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan bahkan hukum dan konstitusi merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang diyakini oleh warga Negara.

Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial

Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.


Tujuan Komisi Yudisial:
a. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
c. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.
d. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.

Wewenang Komisi Yudisial:
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Tugas Komisi Yudisial:
1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

2. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim

Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
b. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
c. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Pertanggungjawaban dan Laporan
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.

PERUBAHAN UUD 1945

ADANYA KETIDAK SEMPURNAAN UUD 1945.

1. Kelemahan dan ketidak sempurnaan UUD 1945 telah dinyatakan oleh SOEKARNO pada rapat PPKI 18 Agustus 1945; UUD sekarang ini adalah UUD sementara/UUD kilat.
2. Gagasan perubahan UUD 1945 dilontarkan pada awal orde baru oleh HARUN AL RASYD, karena UUD 1945 kurang sempurna dan bahkan salah. UUD 1945 dipandang terlalu summier, terlalu banyak masalah yang diserahkan pada pembuatt peraturan yang lebih rendah, dan tidak banyak menjamin secara tegas tentang hak-hak asasi manusia.
3. Gagasan perubahan UUD 1945 di era reformasi oleh Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan dan kekosongan UUD 1945.

Alasan perubahan, karena adanya beberapa kelemahan UUD 1945. Kelemahan tersebut diantaranya adalah:

1.Struktur UUD 1945.
Struktur UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada PRESIDEN sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (executieve heavy): kekuasaan pemerintahan, membentuk UU, hak konstitusional khusus (hak prerogatif), memberi grasi, abolisi,amnesti, dll.

2.Berkaitan dengan sistem checks and balances.
Struktur UUD 1945 tidak cukup memmuat sistem checks and balances antar cabang pemerintahan (lembaga pemerintahan) untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

3.Banyak ketentuan yang tidak jelas membuka kemungkinan penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasar konstitusi:
a.Pemilihan PRESIDEN (... dan sesudahnya dapat dipilih kembali).
b.Ketentuan kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
c.Ketentuan kemerdekaan berserikan, berkumpul mengeluarkan pendapat dan pikiran dengan tulisan dan lisan.

4.Ketentuan organik dalam UUD 1945 : tidak disertai arahan tertentu mengenai materi muatan yang harus diikuti atau dipedomani, hanya diserahkan pada pembentuk UU. Misalnya : UU 22/48 berbeda dengan UU 18/65 dan UU 5/74, UU 22/99, UU 32/2004 meski berdasar UUD 1945 (PASAL 18).

5.Kedudukan penjelasan UUD 1945.
a.Tidak ada kelaziman suatu UUD memiliki penjelasan yang resmi.
b.Dalam berbagai hal, penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan batang tubuh, dan memuat pula keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan batang tubuh.

- Perubahan terjadi pada sidang tahunan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
- Perubahan meliputi hampir seluruh materi UUD 1945 (UUD 1945 berisi 77 butir ketentuan, menjadi 199 butir ketentuan.
- Perubahan Konstitusi mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara dan pembentukan lembaga negara baru.

Perubahan UUD 1945 amandemen membawa konsekwensi logis terhadap sistem hukum Indonesia.
- Perubahan paradigma tersebut antara lain dari sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis, dari watak otoriter menjadi demokratis.
- Perubahan itu harus diikuti dengan perubahan sistem hukum nasional terutama terkait dengan penataan sistem aturan dari kelembagaan baik di bidang politik, ekonomi dan sosial.
- Perubahan itu harus diiringi dengan perangkat hukumnya, dari sisi normanya, sisi aparat penegak hukumnya, kelembagaannya, maupun masyarakat itu sendiri (budaya hukum).

Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap sistem hukum nasional:

-Perubahan Konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undang dalam sistem hukum serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.
- Harus diikuti dengan perubahan sistem aturan dan kelembagaan yang berada dibawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang.
- Sebagai kesatuan sistem hukum, upaya pembaruan sistem hukum nasional untuk menyesuaikan dengan perubahan UUD 1945 seharusnya adalah bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara keseluruhan.
- Masyarakat dapat mengajukan permohonan costitutional review kepada MK terhadap UUD yang telah diubah dan judicial review kepada MA terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU.
- Perubahan kelembagaan sesuai dengan paradigma dan ketentuan baru, serta perubahan kesadaran dan budaya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan.

Hukum nasional

Hukum nasional sebagai hasil pengembangan Hukum Adat, dimana Hukum Adat tidak pernah mundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum nasional, adalah untuk terwujudnya hukum nasional dengan mengangkat hukum rakyat yaitu hukum adat menjadi hukum nasional. Terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern (SOEPOMO).

Pada era Orde Baru, pencarian model hukum nasional memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional. Dimana mengukuhkan hukum adat berarti mengukuhi pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang di unifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta selalu berubah secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi di prakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal dan pluralistis.

KUHP dan Syariat Islam

Selama ini isu penegakkan Syariat Islam menjadi topik yang kontroversial dikalangan para ahli hukum positif dan, lebih- lebih lagi, para ahli hukum Islam. Sebagian pihak menganggap Syariat Islam belum berlaku di Indonesia, padahal kenyataannya sebagian unsur hukum Islam (paling tidak telah tercantum dalam UU Zakat, UU Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam) telah berlaku. Rupa-rupanya yang dimaksud oleh kalangan ini adalah Syariat Islam yang berkenaan dengan aturan pidana.
Ide pelaksanaan Syariat Islam kini memperoleh momentum yang luar biasa. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Departemen Kehakiman, Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, mengabarkan bahwa Depkeh sedang dalam tahap akhir menyelesaikan naskah RUU KUHP. Hal yang menarik adalah RUU KUHP ini bersifat khas Indonesia di mana pasal-pasalnya digali sekaligus dari hukum agama, hukum adat dan hukum pidana barat. Lebih tegas lagi Professor Gani menjelaskan bahwa hukum pidana dalam Syariat Islam dapat memberikan kontribusinya dalam RUU KUHP tersebut.
Selama ini isu penegakkan Syariat Islam menjadi topik yang kontroversial dikalangan para ahli hukum positif dan, lebih- lebih lagi, para ahli hukum Islam. Sebagian pihak menganggap Syariat Islam belum berlaku di Indonesia, padahal kenyataannya sebagian unsur hukum Islam (paling tidak telah tercantum dalam UU Zakat, UU Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam) telah berlaku. Rupa-rupanya yang dimaksud oleh kalangan ini adalah Syariat Islam yang berkenaan dengan aturan pidana. Menteri Yusril Ihza Mahendra –dari partai Islam yang menginginkan perubahan pasal 29 UUD 1945– dan Dirjen A. Gani Abdullah –Guru Besar IAIN Bandung– telah mengakomodir kehendak tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap ide tersebut, tulisan ini hendak menjelaskan kemusykilan yang dapat muncul dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam masalah ini.

Memaknai Poitik Syar'i (As Siyasah )

     Makna Politi dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik. Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu terbagi menjadi dua macam: 
- Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam. Yang kedua, Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
- Politik bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik.
       Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. 


Penjelasan berikut iniFatamorgana Politik Praktis.

      Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!” Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.
      Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna. “Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya.
1. Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.
2. Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.
3 Wallahul Musta’an. untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005). 

As-Siyasah h (Politik yang Syar’i)
       Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)
        Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)
        Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.
Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)
        Mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.
Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
نَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِي
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)

Penegakan Hukum Lingkungan

 penegakan hukum lingkungan tidak hanya ditujukan untuk memberikan hukuman kepada perusak atau pencemar lingkungan hidup. Tetapi, juga ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan perusakan dan atau pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga bersifat preventif.

- penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan untuk menanggulangi perusakan dan atau pencemaran lingkungan dengan melakukan pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak atau tercemar itu dan menjatuhkan atau memberikan sanksi (hukuman) kepada perusak(pelaku) yang dapat berupa sanksi pidana (penjara dan denda), sanksi perdata(ganti kerugian), dan atau sanksi administrasi(paksaan pemerintah, uang paksa dan pencabutan izin).

- penegakan hukum lingkungan yang bersifat prefentif  ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau tidakan yang dapat menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan.

http://www.Bisnis-DGC.com/?id=DMA483069